Kiprah Tim Odontologi Forensik DVI Polda Jatim Ungkap Identitas Korban AirAsia QZ8501

Pernah Identifikasi Satu Gigi, Rekor Tercepat 15 Menit


Upaya pencarian korban jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 memasuki pekan ketujuh. Sejumlah korban ditemukan dalam kondisi sudah tidak utuh. Namun, Tim Odontologi Forensik DVI Polda Jatim mampu mengungkap identitas korban dengan cepat, tepat, dan hemat biaya. Bagaimana caranya?

MUNIROH, Surabaya


---

RUANG itu tidak besar. Di dalamnya, ada beberapa brankar dan peralatan bedah yang tertata rapi di meja-meja operasi. Itulah ruang Disaster Victim Identification (DVI) Polda Jatim yang setiap hari menjadi kamar operasi untuk mengungkap identitas jenazah korban pesawat AirAsia QZ8501 yang terjatuh di Selat Karimata, Pangkalan Bun, 28 Desember 2014.

Sejak satu per satu jenazah korban ditemukan, ruangan di kompleks RS Bhayangkara Surabaya itu tak pernah sepi. Selain tim DVI yang sedang bekerja keras mengungkap identitas para korban, keluarga korban didatangkan untuk mencocokkan data.

Misalnya yang terlihat kemarin siang (12/2). Tujuh anggota tim DVI berdiskusi serius untuk mengungkap identitas korban dengan mencocokkan data primer maupun sekunder yang ada. Salah satu objek yang mereka jadikan bahan diskusi adalah foto panoramic gigi korban.

Itulah Tim Odontologi Forensik DVI Polda Jatim yang memang bertugas melakukan identifikasi melalui formasi gigi korban

"Ini jenazah belum datang, tapi kami harus menyiapkan bahan-bahannya lebih dulu. Biar bisa langsung bekerja," ujar Koordinator Tim Odontologi Forensik DVI Polda Jatim drg Astiti Handayani GDFO.

Menurut perempuan yang akrab dipanggil Dotty itu, sejak jasad korban pesawat jurusan Surabaya-Singapura itu berdatangan, tim odontologi forensik harus siaga. Mereka bertugas mengidentifikasi jenazah melalui gigi.

"Dental record atau rekam medis gigi memang menjadi metode primer identifikasi jenazah selain DNA dan sidik jari," jelasnya.

Dotty mengatakan, di antara 79 jenazah yang sudah berhasil diidentifikasi, 44 korban dikenali dari gigi. Selebihnya, 35 korban, dikenali melalui data DNA, sidik jari, dan data sekunder. Karena itulah, tim odontologi punya peran penting dalam pengungkapan identitas korban.

Semula, tim tersebut terdiri atas 86 orang. Mereka berasal dari berbagai institusi medis, perguruan tinggi (UI, UGM, Unair, Universitas Trisakti, Unej, Unpad, Universitas Kristen Maranatha, IIK Kediri dan Universitas Hang Tuah Surabaya), serta Biddokkes Polda Jatim. Namun, kini tinggal tujuh anggota inti yang bertugas. Selain Dotty, ada drg M. Novo Loebis SpRKG, Kompol drg Dwi Miyarsi MARS, Kompol drg M. Ony Swasono, Dr drg Novi Phd, drg Basma Rosandi Prakosa, dan operator forensik Widy Purwa SH.

Menurut Dotty, tim odontologi berada di bawah komando DVI Polda Jatim dan DVI pusat, yakni Laboratorium dan Klinik Odontologi Kepolisian Pusdokkes Polri. Mereka sudah berpengalaman menangani korban berbagai kasus kecelakaan. Antara lain kecelakaan pesawat Sukhoi di Gunung Salak dan karamnya kapal imigran gelap di Trenggalek. Juga tragedi tanah longsor di Banjarnegara dan Jombang, insiden KRL Bintaro, serta jatuhnya helikopter TNI di Tarakan.

Dotty menuturkan, setiap metode primer memiliki kelebihan dan kekurangan. Pengungkapan identitas jenazah lewat sidik jari misalnya. Saat ini metode itu sudah agak sulit dilakukan karena kondisi jenazah korban AirAsia QZ8501 sudah tidak utuh. Sidik jari sudah tidak ada. Begitu pula bila menggunakan data DNA, dibutuhkan waktu lebih lama. Setidaknya dua pekan untuk menentukan identitas satu jenazah.

Karena itu, data gigi penting. Gigi memiliki kelebihan lantaran bentuknya selalu berbeda pada setiap orang. Perbedaannya mencolok. Bahkan, pada kembar identik pun, hampir pasti struktur gigi tidak sama. Dalam kondisi apa pun korban, hingga tinggal tengkorak sekalipun, gigi tetap bisa diidentifikasi. Bahkan, bila data jenazah nol, tim tetap bisa mem­perkirakan usia jasad melalui gigi.

Contoh terbaru adalah jenazah kopilot AirAsia QZ8501 Remi Plesel. Pria berkebangsaan Prancis itu memiliki rekam gigi palsu pada rahang kanan bawah. Juga ada perawatan kawat gigi. Karena itu, Remi bisa langsung diidentifikasi begitu data-data tersebut dicocokkan.

"Identifikasi dengan gigi itu cepat, tepat, dan low cost (berbiaya rendah). Dalam hitungan jam, kalau datanya lengkap, bisa langsung ketahuan identitas jenazah. Untuk korban AirAsia ini, rekor pengungkapan tercatat 15 menit langsung established atau tidak terbantahkan," ucap alumnus The University of Adelaide, Australia, itu.

Dotty menjelaskan, ada langkah terpadu untuk mengidentifikasi jenazah korban. Jasad yang datang langsung menjalani pemeriksaan postmortem. Jenazah tidak boleh diperlakukan sembarangan. Istilahnya respect the death. Meski kondisinya sudah membusuk, jenazah harus diperlakukan seperti keadaan saat ditemukan.

Dokter yang "bersenjata" kaca mulut, pinset, sonde, sikat gigi, serta X-ray digital pun siap menjalankan tugas. Awalnya, mereka memeriksa gigi-gigi korban. Setiap gigi yang masih ada dibersihkan terlebih dahulu dengan sikat gigi. Jika ada yang memakai kawat, gigi harus dicopot satu per satu. Setelah itu, kondisi gigi dicatat dengan detail. Misalnya, apakah ada tambalan, selubung, kawat, atau gigi palsu.

Lalu, gigi difoto oleh fotografer khusus. Setelah itu baru rekonsiliasi. Data antemortem dari keluarga korban dan postmortem dicocokkan. Tim lantas membandingkan dua data tersebut. Jika ada yang kurang meyakinkan, dilakukan proses ulang.

Dalam sehari, tim pernah mengidentifikasi 13 jenazah. Karena itu, baju operasi yang dikenakan para dokter harus selalu diganti setiap memeriksa satu jenazah. "Baju harus selalu ganti untuk proteksi diri. Sebab, jenazah makin lama makin banyak kumannya. Baunya juga sulit hilang," ujar Dotty.

Banyak suka dan duka selama Dotty dan tim menangani jasad korban AirAsia. Misalnya, lantaran kerja mereka tak kenal waktu, dari pagi hingga malam, tidak jarang ada dokter yang tumbang. Jika sudah begitu, Dotty harus segera melakukan rolling. Dia pun mengaku sering terjaga saat tidur malam. Sebab, ada informasi data baru yang didapatkan saat itu.

"Biasanya setelah itu tidak bisa tidur lagi. Saya harus kerja, menganalisis cetakan gigi korban," ujarnya, lantas tertawa.

Selain itu, selama bertugas, tim odontologi harus berjauhan dengan keluarga dalam waktu yang tidak terbatas. Tidak jarang, rasa kangen keluarga menyergap. Sebab, ada dokter yang meninggalkan istrinya yang tengah hamil. Dotty pun harus rela berpisah dengan anaknya yang masih berusia dua tahun.

Tim juga selalu berupaya menghindari ego pribadi dan menjaga chemistry antaranggota. Pasalnya, mereka berasal dari banyak institusi. Meski semua memiliki basic dokter gigi, kompetensinya berbeda. Ada yang ahli forensik, radiologi, dan anatomi.

Kesulitan muncul saat mereka mengumpulkan data antemortem. Yakni, data rekam gigi dari korban semasa hidup. Data itu berupa dental record, cetakan gigi, foto rontgen, atau bahkan video perawatan gigi pasien. Proses terberat, tim antemortem harus menemui keluarga korban. Mereka harus berhati-hati karena emosi keluarga belum stabil.

Bukan hanya itu. Sebab, penelusuran tidak hanya sampai pada kerabat korban. Tapi, juga teman dan dokter gigi tempat korban pernah memeriksakan diri. "Kerjanya sudah seperti detektif," ungkap Dotty.

Bahkan, untuk meyakinkan, tim melacak media sosial korban. Tujuannya, melihat foto korban saat tersenyum. Dotty menyebut, foto selfie pun bisa menjadi alat identifikasi. "Jadi, kalau mau selfie yang bermanfaat, tunjukkan gigi saat foto," ujar Dotty sembari tertawa. (*/c11/c10/ari)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bayi Anda Tiba-Tiba Panas, Rewel.. Jangan Panik, Sapa Tau Giginya Tumbuh. Kenali Gejalanya..

Akibat Merokok Pada Gigi

Kapan anak harus dibawa ke dokter gigi untuk pertama kali? Mengapa gigi susu harus dirawat? Apa saja tips-tips perawatan gigi anak yang baik?